Aku baik – baik
saja. Atau lebih tepatnya aku harus baik – baik saja. Aku harus bisa melawan
semua rindu yang sering menyudutkanku ke dalam penyesalan dan ketakutan yang
keterlaluan. Aku tak boleh kalah dengan keadaan. Bagaimanapun caranya aku
haruslah memenangkan kehidupanku sendiri. Hanya karena kehilangan salah satu
tumpuanku bukan berarti aku menyerah lantas kalah. Meskipun terkadang aku masih
sering tersuruk ketika aku begitu merindukan abang nomer satuku, meskipun aku
masih sering tersudut dalam segala macam kekhawatiran akan masa depan, meskipun
aku masih sering menatap lama ke langit lantas turun hujan di mataku, meskipun
dalam hening aku masih sering merasa hampa menyakitkan yang tak berkesudahan,
meskipun aku masih sering berharap ini hanyalah mimpi buruk, tapi hidup harus
terus berjalan. Menangisinya boleh saja, tapi menyerah pada keadaan jelas itu
hanya kelakuan pecundang. Dan aku adalah pemenang, aku bukan pecundang.
Setidaknya aku selalu berhasil menemukan cara terbaik untuk berdamai dengan
keadaan. Aku sering sekali merasa sendiri, dan setiap kali aku merasa sendiri
wajah abangkulah yang kemudian menguasai seluruh kewarasan pikiranku. Kau tau
kenapa? Karena aku amat sangat menghargainya, aku amat sangat mencintainya, dan
sepersekian detikpun aku tak pernah berhenti merindukannya sejak napas terakhirnya
berhembus pelan kemudian jantunya tak berdetak lagi. Iya, Tuhan memanggilnya,
malaikat maut menjemputnya. Jelas aku tak pernah ingin jika dia pergi. Aku rasa
orang waras manapun tak akan mau ditinggalkan orang yang ia cintai, terlebih
jika yang pergi tak akan pernah kembali. Bahkan untuk membayangkannya saja
terasa begitu menyakitkan, apalagi sekarang aku sudah mengalaminya. Rasanya
beribu-ribu kali lebih menyakitkan. Hampa setiap kali mengingatnya, tapi hampa
menyakitkan. Kau tau bagaimana rasanya menumpuk rindu setiap waktu? Seluruh
milyaran kata dalam kamus bahasa indonesiapun tak mampu menjadi penjelasan.
Tapi sekali lagi, aku memilih berdamai dengan keadaan. Aku memilih meneruskan
hidup dengan mengharuskan diriku agar selalu terlihat baik – baik saja, bahwa
tidak ada sesuatu yang hilang. Meskipun sebenarnya keadaanku tak pernah benar –
benar baik sejak abangku pergi. Mungkin bagi mereka yang sudah pernah merasakan
kehilangan sedalam aku, akan paham bagaimana susah payah membangun kembali jiwa
yang hampir runtuh setiap hari dibebani rindu. Barang kali bagi yang sudah
pernah merasa kehilangan semenyakitkan aku akan paham bagaimana segala
penyesalan serta ketakutan senantiasa berkecamuk saat menoleh kembali ke
belakang. Barang kali bagi yang sudah pernah merasakan ditinggalkan dan tak
pernah ada kata pisah akan paham bagaimana sesaknya menantikan kembali
pertemuan hanya dengan seijin Tuhan. Barang kali bagi yang sudah pernah merasa
rindu yang serindu-rindunya, yang hanya bisa menyampaikan rindu dalam setiap
do’a dan beriringan air mata akan paham bagaimana cara menyampaikan rindu yang
tak pernah usai. Barang kali bagi yang hanya memiliki satu kakak laki – laki
yang selalu dia jadikan panutan akan paham bagaimana rasanya menjadi seorang
adik yang yang ditinggal sendirian, menjadi anak tunggal. Barang kali bagi yang
sudah pernah kehilangan salah satu orang yang menjadi gravitasi hidupnya akan
paham bahwa kerinduan itu tidak akan pernah ada habisnya. Yang bisa aku lakukan
hanya rutin menyebut namanya dalam do’a. Kebahagiaannya di sisi Tuhan adalah
topik utama, meminta ijin Tuhan agar nanti akupun di ijinkan kembali bertemu
dengan dia adalah yang selalu aku minta. Tidak ada yang bisa mengalihkan segala
rinduku, setiap kali melewati atau menyambangi pusaranya aku harus sekuat
tenaga menahan air mata. Aku tak selalu berhasil tentu saja, kadang aku biarkan
air mata berlinang. Memang tidak akan mengembalikan atau merubah apapun yang
sudah pergi. Tapi setidaknya aku lega. Setidaknya air mata itu adalah bukti
betapa aku mencintai abangku. Dia adalah segalanya bagiku, aku mencintainya
meski dalam diam. Saat mamakku harus ke sawah dia yang menjagaku, mengajakku
bermain. Dia mau saja menjagaku, meskipun aku kecil selalu mengoloknya. Kami
sering belajar bersama, dia mengajariku sampai aku bisa. Dia yang pertama kali
mengajariku cara membaca kosa kata bahasa inggris. Saat itu aku sudah tau bahwa
abangku adalah abang nomer satu tidak ada duanya. Saat aku taman TK dan sedang
dihukum mamak tidak diberi uang jajan, dia beri uang jajan untukku. Ketika aku
bahkan sudah kelas 1 SMP, dia sering menemaniku tidur dan memelukku dalam
lelap. Dia yang memilihkan jalan hingga aku ada disini sekarang. Dia yang
meyakini kemampuanku lebih dari aku meyakini diriku sendiri. Dia yang tidak
pernah sekalipun mengeluh dalam segala keterbatasan yang membuatnya terbaring
lemah. Dia pergi tanpa sempat melihat dunia lebih jauh. Tanpa sempat
menuntaskan semua mimpinya. Tanpa sempat memiliki kekasihnya secara utuh. tanpa
sempat lagi berdiri dan berlari mengejarku seperti waktu kami kecil. Aku tak
melebih lebihkan ceritaku. Siapapun yang mengenal abangku secara dekat akan
memiliki ingatan tentang dia, hal yang paling diingat dari abang nomer satuku.
Tapi satu hal yang selalu aku sesali, dia lebih suka menutup diri semua
perasaan khawatirnya semua beban dia tanggung sendiri hingga menenggelamkan hal
– hal baik dari dirinya sendiri. Tapi aku patut mengaguminya karena dalam empat
tahun terakhirnya diapun temukan cara untuk berdamai dengan keadaannya. Barang
kali selama empat tahun terakhir, dia sudah belajar banyak hal. Bagaimana
menerima, memahami, dan menjalani apapun takdirnya dengan sepenuh jiwa. Akupun
yakin dia sudah paham bagaimana melihat semua kejadian dari banyak sisi.
Terutama dari sisi terbaiknya tentu saja. Hanya orang – orang berjiwa besar dan
tau bagaimana Tuhan begitu sempurna merencanakan segalanya dan apa – apa yang
ditetapkan Tuhan tidak mungkin salah sepermilipu dan tidak akan tertukar satu
hurufpun yang paham bagaimana menerima dan menjalaninya sebaik – baiknya sekalipun
masih terus bertanya kenapa. Tapi seiring waktu berjalan, dia tidak akan lagi
banyak bertanya, malah dia yang akan menjawab segalanya dengan cara terbaik,
dan itulah abangku. Kepergiannya adalah tamparan terbesar dalam hidupku, tapi
dari sanalah setiap hari aku belajar cara terbaik menjadi yang lebih baik.
Kehilangan abangku adalah puncak seluruh rasa sakit, kesedihan, hampa dan
segala rupa hal – hal yang bisa membuat terpuruk. Aku sering sekali mengartikan
segala sesuatu secara berlebihan, tapi untuk abang nomer satuku tidak ada hal
yang berlebihan bagiku. Karena dia memang istimewa lebih dari segalanya. Jika
ada diantara kalian ada yang mempunyai abang seperti aku, apakah abang kalian
selalu memanggil dengan kalian “adek” tanpa pernah sekalipun memanggil dg
menggunakan nama? Aku patut berbangga karena sepanjang yang aku ingat abangku
tak pernah memanggilku dengan panggilan selain adek. Abangku bilang aku adalah
adik kesayangannya, adik semata wayangnya. Aku amat menyukainya, meskipun aku
sering berpura – pura tak suka saat dia menyanyikannya untukku. Sekarang aku
rindu, aku rindu segala sesuatu tentang abangku. Aku rindu suaranya, aku rindu
saat dia memanggilku adek, aku rindu bercerita banyak hal dengannya, aku rindu
akan semua imajinasinya, aku rindu gambar – gambar yang dihasilkan tangannya,
aku rindu caranya menunjukkan bahwa dia menyayangiku, aku rindu segala galanya
tentang abangku. Yang paling membuatku menyesal dan menahan tangis adalah
ketika mengingat segala kesempatan emas yang di miliki oleh abangku. Dia
memiliki segala kualifikasi untuk menjadi sukses. Tapi dengan sangat menyesal,
semua itu terkubur dalam – dalam bersama setumpuk harapannya yang ia miliki
sendiri. Akupun tau betapa orang tuaku berharap kepada abangku itu. Aku tau
persis bagaimana ibuku sangat membanggakan abangku. Aku tau bapakku sangat
berharap pada abangku. Dan akupun melihat janji masa depan yang lebih baik dari
abangku. Tapi bukankah bahkan sebelum aku mampu berpikir hal – hal baik dari
abangku, Tuhan sudah terlebih dulu menuliskan takdir bagi abangku di dalam buku
kehidupan miliknya? Sebesar apapun aku berharap dan betapa kukuhnya kedua orang
tuaku mengusahakan yang terbaik bagi kesembuhan abangku, tetap saja kami tak
bisa menolak saat Tuhan memanggilnya kembali ke sisiNya. Kami tak bisa berdalih
apapun, kami tak bisa merubah ketetapanNya. Apa yang sudah ditetapkan Tuhan
pastilah yang terbaik. Tak mungkin salah, keliru, atau tertukar. Aku sangat percaya
bahwa segala sesuatu terjadi disertai dengan alasan. Entah kapan alasan itu
akan ditemukan, tapi apapun yang terjadi, tugasku bukanlah untuk terus menerus
bertanya kenapa? Tapi tugasku adalah menjawab dan menyelesaikan semua cobaan
yang diberikan Tuhan. Bukannya mengeluh tak berkesudahan. Tapi dalam hal ini, kehilangan abang nomer
satuku tetaplah hal yang teramat sulit aku terima hingga saat ini. Hampir
duapuluh bulan aku merasa ini hanyalah mimpi. Mimpi buruk yang ternyata menjadi
nyata. Aku tak bisa berbohong bahwa kali ini aku belum menemukan cara terbaik
agar aku tak kesesakan di tinggal abangku. Tak ada satu hal pun yang bisa aku
lakukan untuk membuatnya kembali. Tapi aku tak akan pernah lelah melantunkan
do’a untuknya. Dan aku akan terus meminta Tuhan agar mempertemukan aku dengan
abangku kembali. Nanti, di saat yang paling tepat. Abang nomer satuku, aku
mencintaimu :*