Selasa, 20 Mei 2014

Tentang setumpuk rindu

Aku baik – baik saja. Atau lebih tepatnya aku harus baik – baik saja. Aku harus bisa melawan semua rindu yang sering menyudutkanku ke dalam penyesalan dan ketakutan yang keterlaluan. Aku tak boleh kalah dengan keadaan. Bagaimanapun caranya aku haruslah memenangkan kehidupanku sendiri. Hanya karena kehilangan salah satu tumpuanku bukan berarti aku menyerah lantas kalah. Meskipun terkadang aku masih sering tersuruk ketika aku begitu merindukan abang nomer satuku, meskipun aku masih sering tersudut dalam segala macam kekhawatiran akan masa depan, meskipun aku masih sering menatap lama ke langit lantas turun hujan di mataku, meskipun dalam hening aku masih sering merasa hampa menyakitkan yang tak berkesudahan, meskipun aku masih sering berharap ini hanyalah mimpi buruk, tapi hidup harus terus berjalan. Menangisinya boleh saja, tapi menyerah pada keadaan jelas itu hanya kelakuan pecundang. Dan aku adalah pemenang, aku bukan pecundang. Setidaknya aku selalu berhasil menemukan cara terbaik untuk berdamai dengan keadaan. Aku sering sekali merasa sendiri, dan setiap kali aku merasa sendiri wajah abangkulah yang kemudian menguasai seluruh kewarasan pikiranku. Kau tau kenapa? Karena aku amat sangat menghargainya, aku amat sangat mencintainya, dan sepersekian detikpun aku tak pernah berhenti merindukannya sejak napas terakhirnya berhembus pelan kemudian jantunya tak berdetak lagi. Iya, Tuhan memanggilnya, malaikat maut menjemputnya. Jelas aku tak pernah ingin jika dia pergi. Aku rasa orang waras manapun tak akan mau ditinggalkan orang yang ia cintai, terlebih jika yang pergi tak akan pernah kembali. Bahkan untuk membayangkannya saja terasa begitu menyakitkan, apalagi sekarang aku sudah mengalaminya. Rasanya beribu-ribu kali lebih menyakitkan. Hampa setiap kali mengingatnya, tapi hampa menyakitkan. Kau tau bagaimana rasanya menumpuk rindu setiap waktu? Seluruh milyaran kata dalam kamus bahasa indonesiapun tak mampu menjadi penjelasan. Tapi sekali lagi, aku memilih berdamai dengan keadaan. Aku memilih meneruskan hidup dengan mengharuskan diriku agar selalu terlihat baik – baik saja, bahwa tidak ada sesuatu yang hilang. Meskipun sebenarnya keadaanku tak pernah benar – benar baik sejak abangku pergi. Mungkin bagi mereka yang sudah pernah merasakan kehilangan sedalam aku, akan paham bagaimana susah payah membangun kembali jiwa yang hampir runtuh setiap hari dibebani rindu. Barang kali bagi yang sudah pernah merasa kehilangan semenyakitkan aku akan paham bagaimana segala penyesalan serta ketakutan senantiasa berkecamuk saat menoleh kembali ke belakang. Barang kali bagi yang sudah pernah merasakan ditinggalkan dan tak pernah ada kata pisah akan paham bagaimana sesaknya menantikan kembali pertemuan hanya dengan seijin Tuhan. Barang kali bagi yang sudah pernah merasa rindu yang serindu-rindunya, yang hanya bisa menyampaikan rindu dalam setiap do’a dan beriringan air mata akan paham bagaimana cara menyampaikan rindu yang tak pernah usai. Barang kali bagi yang hanya memiliki satu kakak laki – laki yang selalu dia jadikan panutan akan paham bagaimana rasanya menjadi seorang adik yang yang ditinggal sendirian, menjadi anak tunggal. Barang kali bagi yang sudah pernah kehilangan salah satu orang yang menjadi gravitasi hidupnya akan paham bahwa kerinduan itu tidak akan pernah ada habisnya. Yang bisa aku lakukan hanya rutin menyebut namanya dalam do’a. Kebahagiaannya di sisi Tuhan adalah topik utama, meminta ijin Tuhan agar nanti akupun di ijinkan kembali bertemu dengan dia adalah yang selalu aku minta. Tidak ada yang bisa mengalihkan segala rinduku, setiap kali melewati atau menyambangi pusaranya aku harus sekuat tenaga menahan air mata. Aku tak selalu berhasil tentu saja, kadang aku biarkan air mata berlinang. Memang tidak akan mengembalikan atau merubah apapun yang sudah pergi. Tapi setidaknya aku lega. Setidaknya air mata itu adalah bukti betapa aku mencintai abangku. Dia adalah segalanya bagiku, aku mencintainya meski dalam diam. Saat mamakku harus ke sawah dia yang menjagaku, mengajakku bermain. Dia mau saja menjagaku, meskipun aku kecil selalu mengoloknya. Kami sering belajar bersama, dia mengajariku sampai aku bisa. Dia yang pertama kali mengajariku cara membaca kosa kata bahasa inggris. Saat itu aku sudah tau bahwa abangku adalah abang nomer satu tidak ada duanya. Saat aku taman TK dan sedang dihukum mamak tidak diberi uang jajan, dia beri uang jajan untukku. Ketika aku bahkan sudah kelas 1 SMP, dia sering menemaniku tidur dan memelukku dalam lelap. Dia yang memilihkan jalan hingga aku ada disini sekarang. Dia yang meyakini kemampuanku lebih dari aku meyakini diriku sendiri. Dia yang tidak pernah sekalipun mengeluh dalam segala keterbatasan yang membuatnya terbaring lemah. Dia pergi tanpa sempat melihat dunia lebih jauh. Tanpa sempat menuntaskan semua mimpinya. Tanpa sempat memiliki kekasihnya secara utuh. tanpa sempat lagi berdiri dan berlari mengejarku seperti waktu kami kecil. Aku tak melebih lebihkan ceritaku. Siapapun yang mengenal abangku secara dekat akan memiliki ingatan tentang dia, hal yang paling diingat dari abang nomer satuku. Tapi satu hal yang selalu aku sesali, dia lebih suka menutup diri semua perasaan khawatirnya semua beban dia tanggung sendiri hingga menenggelamkan hal – hal baik dari dirinya sendiri. Tapi aku patut mengaguminya karena dalam empat tahun terakhirnya diapun temukan cara untuk berdamai dengan keadaannya. Barang kali selama empat tahun terakhir, dia sudah belajar banyak hal. Bagaimana menerima, memahami, dan menjalani apapun takdirnya dengan sepenuh jiwa. Akupun yakin dia sudah paham bagaimana melihat semua kejadian dari banyak sisi. Terutama dari sisi terbaiknya tentu saja. Hanya orang – orang berjiwa besar dan tau bagaimana Tuhan begitu sempurna merencanakan segalanya dan apa – apa yang ditetapkan Tuhan tidak mungkin salah sepermilipu dan tidak akan tertukar satu hurufpun yang paham bagaimana menerima dan menjalaninya sebaik – baiknya sekalipun masih terus bertanya kenapa. Tapi seiring waktu berjalan, dia tidak akan lagi banyak bertanya, malah dia yang akan menjawab segalanya dengan cara terbaik, dan itulah abangku. Kepergiannya adalah tamparan terbesar dalam hidupku, tapi dari sanalah setiap hari aku belajar cara terbaik menjadi yang lebih baik. Kehilangan abangku adalah puncak seluruh rasa sakit, kesedihan, hampa dan segala rupa hal – hal yang bisa membuat terpuruk. Aku sering sekali mengartikan segala sesuatu secara berlebihan, tapi untuk abang nomer satuku tidak ada hal yang berlebihan bagiku. Karena dia memang istimewa lebih dari segalanya. Jika ada diantara kalian ada yang mempunyai abang seperti aku, apakah abang kalian selalu memanggil dengan kalian “adek” tanpa pernah sekalipun memanggil dg menggunakan nama? Aku patut berbangga karena sepanjang yang aku ingat abangku tak pernah memanggilku dengan panggilan selain adek. Abangku bilang aku adalah adik kesayangannya, adik semata wayangnya. Aku amat menyukainya, meskipun aku sering berpura – pura tak suka saat dia menyanyikannya untukku. Sekarang aku rindu, aku rindu segala sesuatu tentang abangku. Aku rindu suaranya, aku rindu saat dia memanggilku adek, aku rindu bercerita banyak hal dengannya, aku rindu akan semua imajinasinya, aku rindu gambar – gambar yang dihasilkan tangannya, aku rindu caranya menunjukkan bahwa dia menyayangiku, aku rindu segala galanya tentang abangku. Yang paling membuatku menyesal dan menahan tangis adalah ketika mengingat segala kesempatan emas yang di miliki oleh abangku. Dia memiliki segala kualifikasi untuk menjadi sukses. Tapi dengan sangat menyesal, semua itu terkubur dalam – dalam bersama setumpuk harapannya yang ia miliki sendiri. Akupun tau betapa orang tuaku berharap kepada abangku itu. Aku tau persis bagaimana ibuku sangat membanggakan abangku. Aku tau bapakku sangat berharap pada abangku. Dan akupun melihat janji masa depan yang lebih baik dari abangku. Tapi bukankah bahkan sebelum aku mampu berpikir hal – hal baik dari abangku, Tuhan sudah terlebih dulu menuliskan takdir bagi abangku di dalam buku kehidupan miliknya? Sebesar apapun aku berharap dan betapa kukuhnya kedua orang tuaku mengusahakan yang terbaik bagi kesembuhan abangku, tetap saja kami tak bisa menolak saat Tuhan memanggilnya kembali ke sisiNya. Kami tak bisa berdalih apapun, kami tak bisa merubah ketetapanNya. Apa yang sudah ditetapkan Tuhan pastilah yang terbaik. Tak mungkin salah, keliru, atau tertukar. Aku sangat percaya bahwa segala sesuatu terjadi disertai dengan alasan. Entah kapan alasan itu akan ditemukan, tapi apapun yang terjadi, tugasku bukanlah untuk terus menerus bertanya kenapa? Tapi tugasku adalah menjawab dan menyelesaikan semua cobaan yang diberikan Tuhan. Bukannya mengeluh tak berkesudahan.  Tapi dalam hal ini, kehilangan abang nomer satuku tetaplah hal yang teramat sulit aku terima hingga saat ini. Hampir duapuluh bulan aku merasa ini hanyalah mimpi. Mimpi buruk yang ternyata menjadi nyata. Aku tak bisa berbohong bahwa kali ini aku belum menemukan cara terbaik agar aku tak kesesakan di tinggal abangku. Tak ada satu hal pun yang bisa aku lakukan untuk membuatnya kembali. Tapi aku tak akan pernah lelah melantunkan do’a untuknya. Dan aku akan terus meminta Tuhan agar mempertemukan aku dengan abangku kembali. Nanti, di saat yang paling tepat. Abang nomer satuku, aku mencintaimu :*