Senin, 15 September 2014

Dua Puluh Empat Bulan



Kensunyian ini, lirih ku bernyanyi lagu indah untukmu. engkaulah cintaku cinta dalam hidupku bersama rembulan. Aku menangis mengenangmu segala tentangmu ku memanggilmu dalam hati lirih.

Dalam suasana seramai ini aku tetap tidak tertarik keluar dan bergabung bersama keramaian. Jiwaku sudah diramaikan rindu untuk kamu terlalu ramai bahkan riuh. Dalam suasana seramai ini aku memilih tetap berdiam di rumah, di depan laptop, mendengarkan suara arilasso dan lagunya yang “lirih” menikmati rindu yang jelas-jelas menikam. Aku selalu saja salah membaca keadaan. Aku pikir aku sudah terbiasa tanpa kamu. aku pikir aku sekuat itu untuk benar-benar menerima ketiadaannya kamu. tapi aku belum sekuat itu, aku dikalahkan rindu yang terus memburu. Aku dikalahkan rindu yang aku simpan dalam gagu. Bulan September beberapa jam lagi bang, dan duabelas September tinggal menghitung hari. Dan tepat di tanggal itu berarti tepat duapuluh empat bulan kamu kembali padaNya. Duapuluhempat bulan terus menunggu penjelasan terbaik. Atau sebenarnya penjelasan sudah datang sejak awal dan aku pura-pura buta dan tuli? Entah bang entah, aku masih saja bebal untuk urusan ini, aku terlalu mencintai kamu sebagai abang, sahabat, teman berantem, teman berbagi berbagai mimpi.
Duapuluhempat bulan bang, banyak sekali hal sudah terlewatkan. Aku sudah lulus tiga bulan lalu, anak kembar yang begitu kamu sayang sudah berumur enam tahun minggu lalu, kekasih yang kamu relakan sudah bersama imamnya sehari setelah aku wisuda, mbak yang baik sekali itu sudah punya malaikat kecil tepat di hari wisudaku, aku sudah bukan lagi adik kecilmu yang doyan ngambek, di tempatku bekerja aku temukan banyak sekali orang-orang baik, sahabat-sahabat kamu masih menjalin silaturahmi ke keluarga kita, orang-orang berisik yang suka ngurusin keluarga kita juga masih, “pakdhe” yang dulu punya satu anak perempuan sekarang punya anak laki-laki yang lucu kalau kamu masih ada kamu pasti suka, apalagi? Banyak sekali yang ingin aku ceritakan bang, tapi sudahlah aku simpan untuk nanti saja, toh kita akan bertemu lagi bukan? Aku meminta dalam setiap sujudku. Kamu memang sudah tidak ada, tidak lagi bisa memelukku sehangat dulu. Justru aku yang memelukmu dalam rindu. Kamu memang sudah tidak ada dalam bentuk nyata seperti dulu. Tapi nyatanya kamu tak pernah benar-benar pergi. Kita sudah tidak bisa saling menertawakan. Tapi semoga kita tidak pernah berhenti saling mendo’akan. Kamu sudah tidak bisa memberiku nasehat-nasehat terbaik. Tapi semoga aku tidak pernah lupa pada hal-hal baik yang sudah pernah kamu ajarkan. Aku dan kamu sudah berbeda dunia. Jarak dan waktu sempurna memisahkan kita. Entah harus seperti apa aku ungkapkan betapa rindunya aku, betapa butuhnya aku, betapa poraknya aku tanpa kamu. seluruh kata dalam kamus bahasa tidak mampu memakilinya. Abangku satu yang juara, aku merindukan kamu, semoga do’a dalam setiap sujudku sampai ke tempat terbaikmu disana :*

Dari adik semata wayang,
Yang selalu kau sayang.

Minggu, 10 Agustus 2014

Duapuluhdua Bulan



Entah harus seperti apa aku menjelaskan segalanya. Tentang kamu, kepergian, rindu, ikhlas. Sembilan belas tahun aku berada di bumi, kejadian demi kejadianpun banyak sudah berlalu mengajariku untuk menerima apapun bagaimanapun hidup. Tapi masa duapuluh duabulan terakhir adalah masa yang teramat sulit untuk mengatakan bahwa aku baik – baik saja. Kehilangan kamu adalah sakit yang teramat menyakitkan bang. Aku bahkan tidak pernah berpikir kamu akan pergi secepat ini, meninggalkan aku yang sedang butuh-butuhnya. Aku tau, jikapun boleh memilih kamu tak akan pergi meninggalkan aku, membiarkan aku terlunta-lunta tanpa arah. Melihatku terbebani rindu sepanjang waktu, membiarkan aku tersudut dalam ketakutan yang tidak menentu. Aku benci pada diriku yang membenci keadaan ini bang. Aku benci pada diriku yang tidak kunjung temukan cara untuk berdamai yang sedamai damainya dengan keadaan. Aku bukan tidak mencoba, aku bukan begitu saja pasrah pada keadaan yang sering membuatku lupa bahwa aku adalah hamba. Aku mencobanya bang, setiap hari dalam setiap jengkal nafas, aku mencoba mengalihkan rindu dan takutku. Mencoba hal baru, bertemu orang-orang baru, membuat keadaan senormal mungkin. Tapi setiap kali aku dekat-dekat dengan sunyi, rindu dan takut itu menguasaiku lagi. Menjerumuskan aku pada kesedihan yang lebih dalam. Membuat aku berkali-kali terlempar dalam takut yang sama dan rindu yang semakin menjadi. Aku sama sekali belum menemukan cara terbaik untuk merelakan sekalipun aku merasa sudah ikhlas. Apa semua rindu ini salah? Apa ketakutanku berlebih? Bang, duapuluhdua bulan dan aku masih saja bebal. Belum menemukan titik keadilan itu. Bang bagaimana aku harus menghadapi masa depan tanpa kamu? bagaimana aku bisa bahagia tanpa kamu? bagaimana aku bisa bang? Tolong jelaskan. Aku takut sekali bang. Aku tidak tau kemana harus pergi selain menumpahkan segalanya pada Tuhan. Menangis terisak, air mata, dan segala risau hanya bisa aku bawa dalam setiap sujud. Berkali-kali meminta penjelasan terbaik dan tetap saja aku gagal. Bang, duapuluh duabulan, sungai kecil dari mataku akan kering dalam hitungan menit bahkan detik. Isakan tangiskupun akan reda dengan sendirinya. Tapi entah harus seberapa lama lagi aku berhitung untuk meredakan rindu dan menghapus takutku. Bang, duapuluh duabulan, sebentar lagi takbir berkumandang kembali, hari kemenangan kembali menyapa. Artinya sudah dua kali lebaran tanpa kamu. barang kali sepanjang hidup aku akan terus berhitung sampai aku bisa kembali menemui kamu nanti. Barangkali setiap kali rindu aku hanya bisa menabur bunga di pusara kamu, memanjatkan do’a-do’a terbaik dan bersabar sebanyak mungkin. Barang kali akan terus ada tulisan-tulisan menyedihkan seperti ini bang. karena hanya dengan tulisan ini aku bisa sedikit lega, membebaskan rindu yang menghimpit. Tapi tolong percaya aku bang bahwa aku akan kuat dengan segala kenyataan. Tolong yakinkan aku bahwa aku bisa. Bang, aku meminta segala maaf jika hingga detik ini aku tidak bisa menjadi adik terbaik. Masih terus mengeluh, meratap menyedihkan. Aku hanya butuh waktu bang, meskipun aku tidak tau seberapa lama lagi. Tapi aku berjanji tidak akan pernah menyerah. Demi semua kebaikan yang diberikan dua malaikat kita. Bang, duapuluh duabulan dan aku masih rindu yang serindu-rindunya, aku mencintaimu.

Minggu, 06 Juli 2014

Percakapan dalam tulisan dengan seorang sahabat :

Sahabat : belum terlalu dek. Cowok itu gampang jatuh suka. Tapi susah cinta.       Adanya cman nafsu liat cewek cantik..
Aku : haha setujuu sifat alamiah kali mas. Aku lek liat cwok2 ya kyk gitu penilaianku :o
Sahabat : tugas kamu cari cowok yg bs ngerubah penilaianmu ttg mereka :D
Aku : itu yg aku mau mas :D tapi sampeg saat ini aja, ak susah membuka hati buat mereka yang mendekat hehe
Sahabat : guaya ehh.. enak ya jadi cewek.. kerjanya tinggal nunggu cowok yg mendekat, trus tinggal nentuin mau apa enggak. :O
Aku : cwok bisa milih cewek manapun. Tapi cewek juga berhak menentukan mau ap enggak ? sudah kodratnya :D Tapi bknnya enak’n cwok. Suka ya tinggal bilang, kngen tinggal bilang, pdkt bisa dg brbgai cara. Lah lek cewek ? apalahi kyk ak, gengsi mamen haha
Sahabat : salahnya sendiri gengsi. :P tp ngomongin soal jodoh semua sudah ditakdirkan sama pasangannya dewe2.. tinggal sabar aja.. huhu
Aku : gimana gagengsi klo tiap kali selalu diacuhkan haha selalu ada perempuan yang baik2 untuk laki2 yg baik. Dan selalu ada laki2 yg baik2 untuk perempuan yg baik:p
Sahabat : sakno.e rekk.. curhat terus. :P wes sabar aelah. :D
Aku : jare mau tmpt curht semua org ._. ak curhat nang sampian tok loh mas huhu ya harus sabar mas masak mau maksa ? haha
Sahabat : aku kadang bingung.. sampek kapan aku trus galau gara2 cewek kyak ngene.. L
Aku : loh knopo galau mas ? jodoh memang sngt misterius. Dan Tuhan memang seringkali bekerja tidak sesuai keinginan kita mas. Tuhan masi menunggu waktu yg tepat mas. Tuhan tau, tapi menunggu hihi
Sahabat : Maria Teguh… :D aku sudah cukup sneng dek. Punya temen banyak.mereka baik2 .. walau hati msih sendiri sejatinya Aku g pernah sendirian . J
Aku : nah gitu kn pinter she haha kadang ak yo ngenvy mas klo mereka crita pacar masing2 haha sakno yo aku wkwk
Sahabat : wes.. ojok direken.. onok manfaate g duwe pacar iku… bebaaass :D
Aku : setujuu :D tapi salah ga she mas lek sampeg skrg ak menutup diri dari mereka yg mencoba mndekat?
Sahabat : trgantung kamunya.. g bs aku bilang salah apa benernya.. klo km pengen punya pacar. Pengen move on, brarti km salah … dan klo g pengen y brarti bener. Hehe
Aku : aku pngen move on tapi gausa punya pacar mas *nahlo haha
Sahabat : buka hati km buat hubungan yg serius klo gitu.. buka hati km buat mereka yg mau serius.. nilai serius apa g nya itu dr hati..
Aku : nah itu masalahnya mas, ak orangnya terlalu pemilih, terlalu mengotak-ngotakkan haha
Sahabat : silahkan dirubah mulai skrg.. demi tercapainya hati yg move on. :D
Aku : ceileh demi tercapainya jare ? :D sbntar lagi jg saya akn mencapai hati yg move on kok mas haha


*percakapan ini entah sudah berapa bulan yang lalu :D

Selasa, 10 Juni 2014

Tetap saja merasa sepi di tengah keramaian. Aku tersudut dalam sepi, dipojokkan oleh rindu. Rindu yg bisu gagu, hanya mampu terwakili lewat air mata dan untaian do'a. Tuhan aku benci dg diriku yang membenci keadaan ini. Tuhan akupun lelah dengan semua keluhanku sendiri. Tuhan aku gagal menemukan alasan untuk sepenuhnya merelakan. Tuhan maafkan karena aku bebal, maaf untuk setiap keluhan, kekhawatiran, penyesalan, ketakutanku yg teramat berlebihan. Aku tau kepergian abangku adalah yg terbaik. Aku dengan sangat meyakini bahwa abangku mendapat tempat terbaik di sisiMu. Tapi kenapa Tuhan kenapa otakku masih saja berontak. Masih saja menyesal :'( Tuhan aku butuh penjelasan. Jangan biarkan aku menjadi hambaMu yg tidak bersyukur.

Selasa, 20 Mei 2014

Tentang setumpuk rindu

Aku baik – baik saja. Atau lebih tepatnya aku harus baik – baik saja. Aku harus bisa melawan semua rindu yang sering menyudutkanku ke dalam penyesalan dan ketakutan yang keterlaluan. Aku tak boleh kalah dengan keadaan. Bagaimanapun caranya aku haruslah memenangkan kehidupanku sendiri. Hanya karena kehilangan salah satu tumpuanku bukan berarti aku menyerah lantas kalah. Meskipun terkadang aku masih sering tersuruk ketika aku begitu merindukan abang nomer satuku, meskipun aku masih sering tersudut dalam segala macam kekhawatiran akan masa depan, meskipun aku masih sering menatap lama ke langit lantas turun hujan di mataku, meskipun dalam hening aku masih sering merasa hampa menyakitkan yang tak berkesudahan, meskipun aku masih sering berharap ini hanyalah mimpi buruk, tapi hidup harus terus berjalan. Menangisinya boleh saja, tapi menyerah pada keadaan jelas itu hanya kelakuan pecundang. Dan aku adalah pemenang, aku bukan pecundang. Setidaknya aku selalu berhasil menemukan cara terbaik untuk berdamai dengan keadaan. Aku sering sekali merasa sendiri, dan setiap kali aku merasa sendiri wajah abangkulah yang kemudian menguasai seluruh kewarasan pikiranku. Kau tau kenapa? Karena aku amat sangat menghargainya, aku amat sangat mencintainya, dan sepersekian detikpun aku tak pernah berhenti merindukannya sejak napas terakhirnya berhembus pelan kemudian jantunya tak berdetak lagi. Iya, Tuhan memanggilnya, malaikat maut menjemputnya. Jelas aku tak pernah ingin jika dia pergi. Aku rasa orang waras manapun tak akan mau ditinggalkan orang yang ia cintai, terlebih jika yang pergi tak akan pernah kembali. Bahkan untuk membayangkannya saja terasa begitu menyakitkan, apalagi sekarang aku sudah mengalaminya. Rasanya beribu-ribu kali lebih menyakitkan. Hampa setiap kali mengingatnya, tapi hampa menyakitkan. Kau tau bagaimana rasanya menumpuk rindu setiap waktu? Seluruh milyaran kata dalam kamus bahasa indonesiapun tak mampu menjadi penjelasan. Tapi sekali lagi, aku memilih berdamai dengan keadaan. Aku memilih meneruskan hidup dengan mengharuskan diriku agar selalu terlihat baik – baik saja, bahwa tidak ada sesuatu yang hilang. Meskipun sebenarnya keadaanku tak pernah benar – benar baik sejak abangku pergi. Mungkin bagi mereka yang sudah pernah merasakan kehilangan sedalam aku, akan paham bagaimana susah payah membangun kembali jiwa yang hampir runtuh setiap hari dibebani rindu. Barang kali bagi yang sudah pernah merasa kehilangan semenyakitkan aku akan paham bagaimana segala penyesalan serta ketakutan senantiasa berkecamuk saat menoleh kembali ke belakang. Barang kali bagi yang sudah pernah merasakan ditinggalkan dan tak pernah ada kata pisah akan paham bagaimana sesaknya menantikan kembali pertemuan hanya dengan seijin Tuhan. Barang kali bagi yang sudah pernah merasa rindu yang serindu-rindunya, yang hanya bisa menyampaikan rindu dalam setiap do’a dan beriringan air mata akan paham bagaimana cara menyampaikan rindu yang tak pernah usai. Barang kali bagi yang hanya memiliki satu kakak laki – laki yang selalu dia jadikan panutan akan paham bagaimana rasanya menjadi seorang adik yang yang ditinggal sendirian, menjadi anak tunggal. Barang kali bagi yang sudah pernah kehilangan salah satu orang yang menjadi gravitasi hidupnya akan paham bahwa kerinduan itu tidak akan pernah ada habisnya. Yang bisa aku lakukan hanya rutin menyebut namanya dalam do’a. Kebahagiaannya di sisi Tuhan adalah topik utama, meminta ijin Tuhan agar nanti akupun di ijinkan kembali bertemu dengan dia adalah yang selalu aku minta. Tidak ada yang bisa mengalihkan segala rinduku, setiap kali melewati atau menyambangi pusaranya aku harus sekuat tenaga menahan air mata. Aku tak selalu berhasil tentu saja, kadang aku biarkan air mata berlinang. Memang tidak akan mengembalikan atau merubah apapun yang sudah pergi. Tapi setidaknya aku lega. Setidaknya air mata itu adalah bukti betapa aku mencintai abangku. Dia adalah segalanya bagiku, aku mencintainya meski dalam diam. Saat mamakku harus ke sawah dia yang menjagaku, mengajakku bermain. Dia mau saja menjagaku, meskipun aku kecil selalu mengoloknya. Kami sering belajar bersama, dia mengajariku sampai aku bisa. Dia yang pertama kali mengajariku cara membaca kosa kata bahasa inggris. Saat itu aku sudah tau bahwa abangku adalah abang nomer satu tidak ada duanya. Saat aku taman TK dan sedang dihukum mamak tidak diberi uang jajan, dia beri uang jajan untukku. Ketika aku bahkan sudah kelas 1 SMP, dia sering menemaniku tidur dan memelukku dalam lelap. Dia yang memilihkan jalan hingga aku ada disini sekarang. Dia yang meyakini kemampuanku lebih dari aku meyakini diriku sendiri. Dia yang tidak pernah sekalipun mengeluh dalam segala keterbatasan yang membuatnya terbaring lemah. Dia pergi tanpa sempat melihat dunia lebih jauh. Tanpa sempat menuntaskan semua mimpinya. Tanpa sempat memiliki kekasihnya secara utuh. tanpa sempat lagi berdiri dan berlari mengejarku seperti waktu kami kecil. Aku tak melebih lebihkan ceritaku. Siapapun yang mengenal abangku secara dekat akan memiliki ingatan tentang dia, hal yang paling diingat dari abang nomer satuku. Tapi satu hal yang selalu aku sesali, dia lebih suka menutup diri semua perasaan khawatirnya semua beban dia tanggung sendiri hingga menenggelamkan hal – hal baik dari dirinya sendiri. Tapi aku patut mengaguminya karena dalam empat tahun terakhirnya diapun temukan cara untuk berdamai dengan keadaannya. Barang kali selama empat tahun terakhir, dia sudah belajar banyak hal. Bagaimana menerima, memahami, dan menjalani apapun takdirnya dengan sepenuh jiwa. Akupun yakin dia sudah paham bagaimana melihat semua kejadian dari banyak sisi. Terutama dari sisi terbaiknya tentu saja. Hanya orang – orang berjiwa besar dan tau bagaimana Tuhan begitu sempurna merencanakan segalanya dan apa – apa yang ditetapkan Tuhan tidak mungkin salah sepermilipu dan tidak akan tertukar satu hurufpun yang paham bagaimana menerima dan menjalaninya sebaik – baiknya sekalipun masih terus bertanya kenapa. Tapi seiring waktu berjalan, dia tidak akan lagi banyak bertanya, malah dia yang akan menjawab segalanya dengan cara terbaik, dan itulah abangku. Kepergiannya adalah tamparan terbesar dalam hidupku, tapi dari sanalah setiap hari aku belajar cara terbaik menjadi yang lebih baik. Kehilangan abangku adalah puncak seluruh rasa sakit, kesedihan, hampa dan segala rupa hal – hal yang bisa membuat terpuruk. Aku sering sekali mengartikan segala sesuatu secara berlebihan, tapi untuk abang nomer satuku tidak ada hal yang berlebihan bagiku. Karena dia memang istimewa lebih dari segalanya. Jika ada diantara kalian ada yang mempunyai abang seperti aku, apakah abang kalian selalu memanggil dengan kalian “adek” tanpa pernah sekalipun memanggil dg menggunakan nama? Aku patut berbangga karena sepanjang yang aku ingat abangku tak pernah memanggilku dengan panggilan selain adek. Abangku bilang aku adalah adik kesayangannya, adik semata wayangnya. Aku amat menyukainya, meskipun aku sering berpura – pura tak suka saat dia menyanyikannya untukku. Sekarang aku rindu, aku rindu segala sesuatu tentang abangku. Aku rindu suaranya, aku rindu saat dia memanggilku adek, aku rindu bercerita banyak hal dengannya, aku rindu akan semua imajinasinya, aku rindu gambar – gambar yang dihasilkan tangannya, aku rindu caranya menunjukkan bahwa dia menyayangiku, aku rindu segala galanya tentang abangku. Yang paling membuatku menyesal dan menahan tangis adalah ketika mengingat segala kesempatan emas yang di miliki oleh abangku. Dia memiliki segala kualifikasi untuk menjadi sukses. Tapi dengan sangat menyesal, semua itu terkubur dalam – dalam bersama setumpuk harapannya yang ia miliki sendiri. Akupun tau betapa orang tuaku berharap kepada abangku itu. Aku tau persis bagaimana ibuku sangat membanggakan abangku. Aku tau bapakku sangat berharap pada abangku. Dan akupun melihat janji masa depan yang lebih baik dari abangku. Tapi bukankah bahkan sebelum aku mampu berpikir hal – hal baik dari abangku, Tuhan sudah terlebih dulu menuliskan takdir bagi abangku di dalam buku kehidupan miliknya? Sebesar apapun aku berharap dan betapa kukuhnya kedua orang tuaku mengusahakan yang terbaik bagi kesembuhan abangku, tetap saja kami tak bisa menolak saat Tuhan memanggilnya kembali ke sisiNya. Kami tak bisa berdalih apapun, kami tak bisa merubah ketetapanNya. Apa yang sudah ditetapkan Tuhan pastilah yang terbaik. Tak mungkin salah, keliru, atau tertukar. Aku sangat percaya bahwa segala sesuatu terjadi disertai dengan alasan. Entah kapan alasan itu akan ditemukan, tapi apapun yang terjadi, tugasku bukanlah untuk terus menerus bertanya kenapa? Tapi tugasku adalah menjawab dan menyelesaikan semua cobaan yang diberikan Tuhan. Bukannya mengeluh tak berkesudahan.  Tapi dalam hal ini, kehilangan abang nomer satuku tetaplah hal yang teramat sulit aku terima hingga saat ini. Hampir duapuluh bulan aku merasa ini hanyalah mimpi. Mimpi buruk yang ternyata menjadi nyata. Aku tak bisa berbohong bahwa kali ini aku belum menemukan cara terbaik agar aku tak kesesakan di tinggal abangku. Tak ada satu hal pun yang bisa aku lakukan untuk membuatnya kembali. Tapi aku tak akan pernah lelah melantunkan do’a untuknya. Dan aku akan terus meminta Tuhan agar mempertemukan aku dengan abangku kembali. Nanti, di saat yang paling tepat. Abang nomer satuku, aku mencintaimu :*